Minggu, 12 Desember 2010

Membaca & Menulis Cerpen

. Sabtu, April 03, 2010


Membaca & Menulis Cerpen - Apa itu cerpen ( Cerita pendek )? Bagaimana cara menulis cerpen? dan seperti apa contoh dari cerpen itu? semua terangkum dalam uraian dibawah ini.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, cerpen adalah akronim dari cerita pendek, yaitu kisahan pendek (kurang dari 10.000 kata) yang memberikan kesan tunggal yang dominan dan memusatkan diri pada satu tokoh dalam satu situasi. 

Anda tentu sudah sangat sering membaca cerpen? Atau Anda pernah menulis cerpen? Kali ini Anda akan berlatih kembali membuat cerpen. Ide cerpen dapat ditulis berdasarkan ide apa saja, baik pribadi maupun orang lain, Cerpen tersebut merupakan fiktif naratif, dengan kata lain cerpen tersebut termasuk ragam cerita imajinatif.


Biasanya, cerpen itu jumlah halamannya berkisar 2-20 halaman yang memiliki beberapa kategori, di antaranya:

- Kisahan memberi kesan tunggal dan dominan satu tokoh, latar dan situasi dramatik, bentuknya sangat sederhana. Semuanya bersifat imajinatif;
Mengungkapkan satu ide sentral dan tidak membias pada ide sampingan. Biasanya berisi hal-hal yang tidak rutin terjadi setiap hari, misalnya tentang suatu perkenalan, jatuh cinta, atau suatu hal yang sulit dilupakan;
- Dimensi ruang waktu lebih sempit dibandingkan novel. Akan tetapi, walaupun singkat, cerpen selalu sampai dalam keadaan selesai;
- Mengungkapkan suatu kejadian yang mampu menghadirkan impresi tunggal

Seperti prosa, cerpen juga terdiri atas unsur intrinsik dan ekstrinsik karya sastra.

Unsur intrinsik Cerpen ( Cerita Pendek ) meliputi: 
Tema
Plot/alur
Tokoh dan Penokohan
Latar
Sudut pandang
Pesan, dan Gaya.

Unsur ekstrinsik Cerpen ( Cerita Pendek )  meliputi: 
Biografi pengarang
Kondisi sosial
Politik
Agama,atau filsafat.


"Yakinkan diri Anda bahwa menulis itu mudah dan mengasyikkan!"


Demikian artikel ini saya susun, semoga artikel "Membaca & Menulis Cerpen" ini dapat berguna bagi saudara saudara semua ^_^

Kalimat Inti dan Kalimat Transformasional

. Selasa, April 06, 2010


Kalimat Inti dan Kalimat Transformasional - Apa definisi kalimat inti ? Apa definisi kalimat transformasional ? dan apa perbedaan diantara keduanya? dalam artikel kita kali ini kita akan membahas tentang kalimat inti dan kalimat transformasional, disertai dengan contoh contohnya.

Definisi Kalimat Inti dan Kalimat Transformasi

Kalimat inti adalah kalimat yang hanya terdiri atas dua unsur pusat, yaitu unsur subjek dan predikat, tanpa mengalami perluasan pada salah satu unsurnya.

Jika kalimat inti telah mengalami perubahan berupa susunan katanya atau intonasinya, kalimat tersebut tidak menjadi kalimat inti lagi, walaupun masih merupakan kalimat mayor. Kalimat tersebut menjadi kalimat transformasional. Perubahan dari kalimat inti menjadi kalimat transformasional dapat dilakukan dengan cara mengubah tata urut unsur unsur intinya, mengubah intonasi netralnya, atau memperluas kalimat inti tersebut. Untuk lebih jelasnya perhatikan contoh kalimat di bawah ini!


Contoh Kalimat inti: 

Adik menangis.

Contoh Kalimat transformasional:

a. Dengan perubahan intonasi: 



b. Dengan perubahan urutan kata: 

.

Demikian artikel "Kalimat Inti dan Kalimat Transformasional" ini saya susun teman teman. semoga apa yang telah kita pelajari beberapa saat yang lalu dapat bermanfaat untuk kita semua.

Artikel ini saya ambil dari Buku Bahasa Indonesia ( BSE ) " Terampil Berbahasa Indonesia 2 " karangan Gunawan Budi Santoso, Wendi Widya R.D, Uti Darmawati. Semoga Apa yang mereka tulis dapat dicerna oleh teman teman semua ^_^

Pesan yang hendak disampaikan sentra-edukasi.com adalah "Mari kita gunakan BSE!, Siapa bilang BSE tidak bermutu ^_^, MAri kita mudahkan pencarian informasi untuk pendidikan!!!"

-------------------------------

Materi Pembelajaran


Kalimat (1) tidak memiliki kesatuan gagasan karena kalimat tersebut tidak memiliki subjek. Unsur di dalam keputusan itu bukanlah subjek, melainkan keterangan. Oleh sebab itu, agar kalimat tersebut efektif frasa di dalam harus dihilangkan. Dengan demikian, kalimat tersebut berubah menjadi kalimat (2).
Kalimat (3) tidak efektif karena tidak memiliki kesejajaran antara predikat-predikatnya. Predikat menolong merupakan predikat aktif, yakni menggunakan imbuhan meng-, sedangkan dipapahnya merupakan predikat pasif, yakni menggunakan imbuhan di-. Karena itu, kalimat tersebut harus diubah sehingga akan menjadi kalimat yang memiliki kesejajaran (paralel) seperti kalimat (4) atau (5).
Ketidaklogisan kalimat (6) disebabkan oleh pemakaian kata mengajar. Bahasa Indonesia bukanlah benda hidup yang bisa diajar. Agar kalimat itu logis, predikat tersebut harus diubah menjadi mengajarkan seperti contoh (4) atau (5)
Contoh:
(1) Sebelum hujan turun dengan derasnya, aku sudah sampai ke rumahnya.
(2) Gadis yang bernama Anti itu sedang belajar menari.
(3) Petani yang rajin bekerja itu sedang bertanam jagung kualitas unggul di pekarangan rumahnya yang luas itu.
(4) Ayahnya adalah seorang guru SD yang sangat jujur dan sederhana.
(5) Meskipun hidupnya menderita, ia tetap tersenyum kepada setiap orang.
(6) Sikap Negara-negara Barat yang melarang warganya bepergian ke ASEAN, terutama ke Indonesia, dikritik oleh para pemimpin ASEAN dengan meyebutkan bahwa itu sebagai hal yang tidak perlu.
(7) Sejak lahirnya konsep pemikiran baru dalam ilmu kedokteran, yang dicetuskan oleh professor Linus Pauling, yakni tentang orthomolecular medicine yang dasarnya adalah studi biologi molekulernya sebagai sains dasar, penelitian-penelitian medis diarahkan pada molekul-molekul yang secara normal biologis-fisiologis ada dalam tubuh mereka.
(8) Penelitian-penelitian mutakhir memusatkan perhatian pada makanan dari soya, yang ternyata dapat mencegah kanker payudara.
(9) Sekalipun udara dingin berhembus, orang tetap berduyun-duyun membeli karcis pertunjukan drama “Surapati”.
Kesinambungan pembangunan hanya mungkin dilaksanakan jika ketahanan nasional dan kualitas trilogi pembangunan meningkat.
(2) Ririn sedang makan roti.
(3) Kemarin Ririn makan.

Syarat-syarat dalam membuat Kalimat Efektif

Kalimat efektif adalah kalimat yang memiliki kemampuan untuk menimbulkan kembali
gagasan-gagasan pada pikiran pendengar atau pembaca seperti apa yang ada dalam pikiran
pembicara atau penulis. Kalimat sangat mengutamakan keefektifan informasi itu sehingga kejelasan kalimat itu dapat terjamin.
Kriteria kalimat efektif :
1. Menggunakan kesepadanan antara struktur bahasa dan jalan pikiran yang logis dan sistematis.
2. Menggunakan kesejajaran bentuk bahasa yang dipakai.
Syarat pertama bagi kalimat efektif mempunyai struktur yang baik. Artinya kalimat itu harus memiliki unsur-unsur subjek dan predikat, atau bisa di tambahkan dengan objek, keterangan dan unsur-unsur subjek, predikat,objek, keterangan, dan pelengkap melahirkan keterpaduan arti yang merupakan ciri keutuhan kalimat.
-       Subjek adalah unsur yang melakukan suatu tindakan atau kerja dalam suatu kalimat.
-       Predikat adalah sebagai unsur kata kerja.
-       Objek adalah Unsur yang dikenai kerja oleh subyek.
-       Keterangan dapat berupa keterangan waktu ataupun tempat selama kejadian.
-       Pelengkap adalah unsur yang melengkapi kalimat yang tak berobyek.
-Syarat-syarat kalimat efektif: (memiliki)
1. Kesepadanan dan Kesatuan,
Untuk dapat mencapai kesepadanan dan kesatuan dalam kalimat efektif, perlu di perhatikan beberapa hal karena kesepadanan ini memiliki ciri.
- Memiliki fungsi Subjek dan predikat
- Kata penghubung intrakalimat dan antarkalimat
- Gagasan pokok
- Penggabungan dengan menggunakan “yang”, “dan”
- Penggabungan Menyatakan “sebab”, “waktu”
- Penggabungan kalimat yang menyatakan hubungan akibat dan tujuan

2. Kesejajaran : penggunaan bentuk-bentuk bahasa yang sama atau konstruksi bahasa yang sama yang dipakai dalam susunan serial.
3. Penekanan dalam kalimat
Seorang pembicara biasanya akan memberikan penekanan pada bagian kalimat dengan memperlambat ucapan, meninggikan suara dan sebagainya pada bagian kalimat tadi.
4. Kehematan
Kehematan dalam kalimat efektif merupakan kehematan dalam pemakaian kata, frase atau bentuk lainnya yang di anggap tidak diperlukan. Kehematan itu menyangkup gramatikal dan makna kata.
5. Kevariasian
Dalam menulis sebuah tulisan, kevariasian sangatlah penting. Hal tersebut di karenakan, apa ila tulisannya panjang, pembacanya akan merasa bosan. Oleh karena itu kevariasian sangatlah penting, agar sang pembaca tidak merasa jenuh saat membaca tulisan sang penulis.

Jumat, 03 Desember 2010




Pengamat Pendidikan. Mahasiswa Program Magister Universitas Negeri Malang
(Seandainya) Masuk PTN Tanpa Seleksi
Abdul Halim Fathani
| 03 December 2010 | 18:56
Total Read

Belum ada chart.
Oleh Abdul Halim Fathani
Pemerintah menetapkan, dalam penerimaan mahasiswa baru di perguruan tinggi negeri, sebanyak 60 persen dari kapasitas yang tersedia harus melalui seleksi nasional. Merespons keputusan ini, sejumlah perguruan tinggi negeri akan melakukannya melalui dua jalur penerimaan. Jalur pertama melalui ujian tertulis seperti seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN) dan jalur nontertulis lewat penelusuran minat dan kemampuan. Jalur ini tidak berbeda jauh dengan tahun-tahun sebelumnya, tetapi kuotanya tahun sekarang sudah ditentukan. (Kompas, 15/11/10). Sedangkan, sisanya (40 persen) ditentukan dari seleksi mandiri yang model penyelenggaraannya diserahkan ke masing-masing PTN.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 itu, secara tersirat ditetapkan bahwa prinsip penerimaan mahasiswa baru harus terbuka luas untuk semua anak bangsa dari Sabang hingga Merauke. Siapa pun harus diberi peluang untuk mengenyam pendidikan di bangku kuliah. Tanpa pandang bulu. Namun, karena masing-masing PTN memiliki kapasitas kursi yang berbeda dan terbatas, maka PTN melakukan seleksi sebagai jalan keluarnya.
Salah satu fungsi diterapkannya sistem seleksi adalah keinginan perguruan tinggi untuk mendapatkan input mahasiswa baru yang memiliki kemampuan akademik tinggi atau minimal di atas rata-rata (the best input). Akibat dari sistem seleksi inilah, jamak kita saksikan siswa-siswi –pasca UN- yang ramai-ramai untuk mengikuti les/bimbingan belajar yang didesain (baca: dikondisikan) secara khusus untuk mengantarkan lulusan SMA/MA/SMK agar lolos dalam tes SNMPTN. Maka, pantaslah jika anak-anak yang diterima di PTN adalah mereka yang memiliki kemampuan akademik tinggi. Lalu, yang belum banyak mendapat perhatian –namun perlu dicari solusinya- adalah bagaimana nasib mereka yang tidak diterima di PTN yang nota bene lemah bidang akademik-intelektualnya, tetapi masih ingin bisa kuliah?
PTN Unggul
Dalam buku “Sekolahnya Manusia”, Munif Chatib (2009:93) menyatakan bahwa indikator sekolah  unggul adalah sekolah yang fokus pada kualitas pembelajaran, bukan pada kualitas input siswanya. Mengacu hal ini, maka PTN unggul adalah kampus yang fokus pada kualitas pembelajaran bukan pada kualitas input mahasiswanya.
Kualitas proses pembelajaran bergantung pada kualitas para dosen yang mengajar di kampus tersebut. Apabila kualitas dosen di suatu PTN baik, mereka akan berperan sebagai “agen of change” para mahasiswanya. Alhasil, PTN dikatakan unggul jika para dosennya mampu menjamin mahasiswanya untuk berubah menjadi yang lebih baik, mengubah mahasiswa yang asalnya berkualitas akademis negatif (baca: rendah) menjadi positif, itulah PTN unggul.
Lebih lanjut, Chatib menyatakan bahwa konsekuensinya bagi PTN yang berani mengklaim kampusnya adalah kampus unggul; maka harus dengan senang hati menerima semua calon mahasiswa baru dengan kondisi apa pun, tanpa pandang bulu, dan tanpa melakukan seleksi akademis. Prinsipnya, kampus harus menganggap tidak ada mahasiswa yang bodoh. Sehingga, setiap penerimaan mahasiswa baru, kampus akan menutup pendaftaran, jika kuota kursi mahasiswa sudah terpenuhi, bukan melalui jalur seleksi. Hemat penulis, penerimaan mahasiswa baru ini harus bersifat terbuka dari sisi akademik, tingkat ekonomi, maupun asal daerahnya.
Mengapa demikian? Pada dasarnya, bagi calon mahasiswa yang gagal dalam seleksi masuk PTN adalah mereka yang memiliki keinginan kuat untuk meneruskan pendidikannya di bangku kuliah. Jika, keinginannya tersebut tidak tercapai, maka pastilah mereka memiliki rasa kekecewaan yang tinggi. Bisa juga, stigma sebagai anak yang gagal masuk PTN unggul akan terus melekat seumur hidup dan selalu terbayang dalam benak pikirannya. Hal ini tentu akan berbahaya bagi masa depan anak.
Namun, menerima mahasiswa tanpa seleksi bukanlah pekerjaan gampang bagi PTN yang sudah biasa menjaring mahasiswa melalui sistem seleksi yang “ketat”. Tetapi, jika kita menyaksikan “nasib” mahasiswa “lemah” secara akademis, sementara mereka masih memiliki tekad yang kuat untuk mengenyam pendidikan, sebagai PTN haruslah tertantang untuk “rela” menyediakan kursi bagi mahasiswa tersebut. Kalau perlu, pemerintah (baca: Kemdiknas) juga segera melakukan pembahasan secara khusus terkait penyediaan kursi bagi mahasiswa yang memiliki keinginan kuat untuk kuliah, sementara prestasi akademiknya tergolong rendah. Dan, PTN harus melakukan pelayanan akademis secara “khusus” kepada mereka dengan menyelenggarakan proses pembelajaran yang berkualitas (the best process).
Mungkinkah hal ini terlaksana? Apabila kita semua peduli terhadap nasib generasi bangsa, maka selain menyediakan kursi bagi mahasiswa miskin secara ekonomi, pemerintah juga seyogianya memberikan kesempatan bagi mahasiswa yang lemah secara akademis tapi “masih” memiliki tekad kuat untuk maju. Jika hal ini dapat direalisasikan, sungguh masa depan generasi bangsa akan semakin memancarkan sinar kecemerlangan. Semoga.[ahf]